Subscribe Us


 

Sidang MK Soal Uji Materi UU Ketenagakerjaan Diawali Pemeriksaan Materi Gugatan Pemohon


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan [Pasal 59 ayat (7)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak yang mengajukan uji materi (judicial review) adalah pemohon perseorangan.
Sidang perdana Pemeriksaan Pendahuluan (I) berlangsung, Kamis, 13 September 2018, di Ruang Sidang Gedung MK RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat.
Sidang pemeriksaan pendahuluan  atas Perkara Nomor 72/PUU-XVI/2018 terbuka untuk umum itu dengan majelis hakim dipimpin oleh Wahiduddin Adams (Ketua) dengan didamping Manahan MP Sitompul (Anggota) dan Enny Nurbaningsih (Anggota). Sedangkan pihak pemohon adalah Abdul Hakim.
Selaku pemohon perseorangan, Abdul Hakim mengatakan, maksud dan tujuan permohonan mengajukan uji materi UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang in casu Pasal 59 ayat
(7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili Permohonan a quo.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya, maka untuk memenuhi kualifikasi sebagai Pemohon perorangan warga negara Indonesia, Mahkamah Konstitusi telah memberikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005, dan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya.

Bahwa yang dimaksud dengan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional haruslah memenuhi lima syarat. Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang terdaftar sebagai pekerja di PT Internusa Food dengan perikatan perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang telah dilakukan perpanjangan sebanyak 11 kali. Pemohon oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diberikan hak konstitusional untuk mendapatkan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak akibat dari adanya hubungan kerja guna sedapat mungkin meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri Pemohon sebagai pekerja sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2) Undang- Undang Dasar Tahun 1945.

Berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 6/Pdt.Sus-PHI/2018/PN Jakarta Pusat bertanggal 12 Juli 2018. Status hubungan kerja Pemohon yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu oleh PT Internusa Food telah dinyana ... telah dinyatakan beralih menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, sehingga terhadap tindakan PT Internusa Food yang memutuskan hubungan kerja Pemohon secara sepihak sejak tanggal 28 Juli 2017 dengan alasan perjanjian kerja waktu tertentu telah berakhir haruslah disertai dengan pembayaran kompensasi kepada Pemohon berupa uang pesangon sebesar Rp54.047.700,00 dan upah selama proses pemutusan hubungan kerja sebesar Rp13.428.000,00.
"Namun terhadap putusan tersebut, PT Internusa Food mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, sehingga putusan PHI belum berkekuatan hukum tetap dan belum dapat dilaksanakan," ungkap Abdul Hakim.

Dalam beberapa kasus konkret, menurut Hakim,  sepanjang perkara peralihan hubungan kerja yang semula dari perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, Mahkamah Agung selalu menghilangkan hak pekerja berupa upah selama proses pemutusan hubungan   kerja  yang  telah ditetapkan oleh pengadilan hubungan industrial.
Dengan mempertimbangkan beberapa putusan Mahkamah Agung tersebut di atas, lanjut Hakim, Pemohon berkesimpulan upah selama proses pemutusan hubungan kerja yang berdasarkan Putusan PHI Jakarta Pusat wajib diberikan kepada Pemohon berpotensi akan dihilangkan oleh Mahkamah Agung, yang berakibat pula pada hilangnya atau berkurangnya hak kon
stitusional Pemohon untuk mendapatkan imbalan, serta perlakuan yang adil dan layak akibat dari adanya hubungan kerja, yaitu upah atau imbalan selama proses pemutusan hubungan kerja.
Menanggapi uraian Abdul Hakim, hakim anggota Enny Nurbaningsih berpendapat, sebetulnya kalau dilihat dari Permohonan yang diajukan oleh pemohon ini bisa dikatakan Permohonannya sudah memenuhi paling tidak format dari PMK Tahun 2005 yang mengatur menenai bagaimana cara beracara di dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Itu sudah kelihatan. Ini nampaknya sudah pengalamanlah, gitu, ya.

Hanya memang problemnya, menurut dia,  adalah yang perlu digarisbawahi bahwa Mahkamah ini kan kewenangannya adalah menguji norma. “Apakah norma dari satu ketentuan, misalnya Saudara maksudkan Pasal 59 ayat (7) dari Undang-Undang Ketenangakerjaan itu, itu kemudian secara konstitusional ada hal yang memang kemudian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945? Itu memang harus dipahami dengan sungguh-sungguh di situ,” kata Enny.
Karena kalau kemudian itu kabur, ya, kita juga sangat sulit untuk melihatnya karena Mahkamah tidak dalam kapasitas untuk menilai persoalan implementasi atau pelaksanaan dari norma tersebut, tetapi yang duji adalah konstitusional dari norma tersebut terhadap konstitusi,” ujarnya.

Post a Comment

0 Comments