PPRA Dewan Pers Wajib Hukumnya Bagi Wartawan

KabarPublik-Bogor
Agar tidak terjerat hukum Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), wartawan wajib hukumnya mematuhi peraturan Dewan Pers (DP) tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) dalam menjalankan tugas jurnalistik.

Seusai pelatihan, peserta dan panitia foto bersama
Hal itu terungkap didalam kegiatan pelatihan Jurnalistik Perspektif Gender dan Ramah Bagi Media,  yang diadakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPP-PA). Kegiatan itu berlangsung pada 19-20 Juni 2019 di Hotel Grand Savero Bogor,  Jawa Barat (Jabar).

Kamsul Hasan memberikan materi
Pelatihan selamat duahari ini diikuti sedikitnya 30 journalist media cetak dan online pers nasional dan lokal se Jabodetabek.
Asdep KemenPP-PA, Fatahilah membuka resmi pelatihan 

Dari Jumlah itu terdapat sepuluh wartawan pengurus PWI jaya,  termasuk pula ketua,  sekretaris,  bendahara dan pengurus baru PWI Jaya.
Pelatihan ini dibuka resmi oleh Asisten Deputi (Asdep) Partisipasi Media KemenPA-PA, Fatahillah pada 19 Juni 2019.

Sri Wahyuni beberkan kasus-kasus perempuan dan anak berkonflik dengan hukum. 

Panitia menampilkan dua pemateri handal yakni Ketua Komisi Kompetensi Wartawan PWI pusat,  yang juga selaku Fasilitator Pelatihan,  Kamsul Hasan,  dan Sri Wahyuni, pegiat masalah perempuan dan anak.
Kamsul Hasan menegaskan,  didalam menjalankan tugas jurnalistik,  wartawan tidak hanya mematuhi UU Pers nomor 40/1999, dan Kode Etika Jurnalistik (KEJ), tetapi wajib hukumnya juga menaati Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA).
Pemateri bersama peserta sarapan pagi. 

Menurut Kamsul, berbagai rambu-rambu tersebut bukan berarti mengurangi kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers, seperti diatur Pasal 2 dalam Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, menurut dia, salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berazaskan pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.

Peserta pelatihan jurnalistik
Masih terkait kemerdekaan pers, Kamsul menjelaskan, didalam Pasal 28B ayat (2) dalam amandemen UUD 1945 berbunyi setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Para juara pelatihan jurnalistik
Turunan pasal tersebut, lanjutnya, lahir  Undang-Undang (UU)  No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Mengenai perlindungan anak, ucap Kamsul, memang tidak terdapat pada UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, karena disahkan lebih dahulu tahun 1999, sehingga diatur pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang disahkan pada 14 Maret 2006.
Dalam Pasal 5 KEJ menentukan  wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Sementara lahirnya PPRA, ucap Kamsul, sebagai koreksi terhadap sebagian Pasal 5 KEJ, khususnya perluasan pelindungan  identitas terhadap anak.
“PPRA Dewan Pers dimaksudkan sebagai rambu dan atau sekaligus upaya melindungi wartawan dari jeratan hukum Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA),” ujar Kamsul.
Adapun ancaman hukuman yang diatur dalam undang-undang ini terhadap media cetak dan elektronik adalah lima tahun penjara dan atau denda Rp 500 juta.
"Jangankan UU nomor 40/1999 tentang Pers, UU Perlindungan Anak mengintervensi undang-undang kehakiman dan undang-undang kepolisian,"papar Kamsul.
Pegiat masalah Perempuan dan Anak,  Sri Wahyuni mengatakan, pemberitaan kasus-kasus perempuan dan anak-anak tanpa mengindahkan peraturan yang ada telah menimbulkan trauma baru bagi korban dan pelaku kasus-kasus tersebut.
"Pemberitaan kasus-kasus perempuan dan anak telah membuat penderitaan baik sebagai pelaku atau korban dan keluarga keluarga.Selain secara hukum dan lingkungan,  ditambah lagi pemberitaan media, sehingga korban atau pelaku mengalami duakali hukuman," tuturnya.
Untuk itu melalui pelatihan ini,  Sri Wahyuni berharap, ke depan wartawan lebih bijak dalam pemberitaan tentang kasus-kadus perempuan dan anak bermasalah fengan hukum.
Asdep Partisipasi Media Kemen PP-PA, Fatahillah mengatakan, konsep keadilan dan kesetaraan gender masih belum dipahami secara seksama oleh berbagai kalangan. Sehingga tidak mengherankan apabila pendekatan dan strategi pengarusutamaan gender yang diinstruksikan belum diterapkan termasuk oleh institusi pemerintah.
“Sampai saat ini, ketidaksetaraan gender dan hak anak masih menjadi hambatan dalam pengarusutamaan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak,” katanya.
Agar implementasi perlindungan anak dan perempuan terealisasi, dia menjelaskan,  kementeriannya telah membentuk Asisten Deputi Partisipasi Media pada Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat. "Kementerian memandang kalangan pers bisa lebih gencar mengkomunikasikan hak anak dan perempuan sebagai mana telah diatur dalam perundang-undangan," ujarnya.
Selain itu, ucapnya, melalui pelatihan jurnalistik ini maka pemberitaan tentang anak dan perempuan mengindahkan ketentuan yang berlaku.(jaya)

No comments:

Post a Comment